MARGA SAYA NOENOEHITOE
Terlahir
dalam komunitas berpaham patriakhal di Pulau Rote - NTT, saya mendapatkan
warisan marga dari bapak yaitu Noenoehitoe. Jadi mau tidak mau, saya mesti
meneruskan marga ini. Ada banyak pihak yang menduga bahwa marga kami ini
berasal dari Maluku. Mungkin karena ada kesamaan bunyi dengan marga Manhitu
ataupun Tahitoe. Bahkan ada yang bersikeras menyebutkan kisah bahwa moyang
Noenoehitoe datang dari Ambon ke Rote sebagai penyebar Injil yang diutus oleh
Belanda. Beberapa waktu yang lalu bahkan
ada seorang teman yang menceritakan bahwa ada Peneliti dari sebuah Institut di
Kupang yang sedang menyusun naskah histori tentang gelombang migrasi
orang-orang Maluku ke Timor termasuk Rote.
Saya cuma senyum saja untuk menenangkan hati mereka.
Sejarah
dan silsilah mengenai marga Noenoehitoe ini pernah dituliskan oleh Pdt. Jermias
Petrus Nunuhitu (manuskrip, 1955) dan juga ada dalam buku berjudul Anak Membela
Bapak yang ditulis oleh Dj. Messakh yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Dikemudian hari ada pula sebuah cerita rakyat berjudul Pulau Dendam yang
ditulis oleh Gerson P. Ada juga buku karangan Paul A. Haning berjudul Nalle
Sanggu Penakluk Kerajaan Ndana yang diterbitkan Penerbit Khairos (2006). Semua
sumber itu mengisahkan bahwa nenek moyang marga Noenoehitoe berasal dari sebuah
pulau di selatan pulau Rote yaitu Ndana. Dikisahkan bahwa keturunan marga
Noenoehitoe berasal dari seorang fettor (bupati) di pulau Ndana bernama Nunu
Foe. Beliau memiliki 2 orang anak yaitu Rondo Nunu (laki-laki) dan Tana Nunu
(perempuan). Kedua turunan ini kemudian bermigrasi ke pulau Rote (Dae Hena) dan
berkembanglah keturunannya sampai saat ini.
Memang
pada awalnya belum ada marga Noenoehitoe, para moyang masih menggunakan nama
menurut adat istiadat pada jaman itu. Setelah Belanda masuk dan mempengaruhi
kebudayaan Rote, maka orang Rote mulai
memakai marga untuk memperjelas identitas tiap orang dan suku. Mula-mula marga
Pandie dipakai oleh nenek moyang sebagai identitas mereka. Kemudian karena ada kedekatan dengan raja
nusak Thie, maka beralihlah marga nenek moyang menjadi Messakh dalam suku
Mburala’e. Pada tahun 1934, seorang pension guru bernama Daniel Arnolus
mendapatkan keputusan dari Gubernur Jendral Belanda di Makasar tentang penggunaan
marga Noenoehitoe. Sejak saat itu maka
keturunan Nunu Foe memakai marga Noenoehitoe.
Sedikit
polemik muncul ketika pada tahun 1972, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden
nomor 57 tahun 1972 dengan nama Ejaan yang Disempurnakan yang kemudian
dilengkapi melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
no. 0196/U/1975 tanggal 27 Agustus 1975 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan. Dalam aturan ini, ada perubahan mendasar dalam
penggunaan huruf, misalnya ch → kh, dj → j, nj → ny, oe → u. Contoh terakhir inilah yang
menjadi polemik karena secara tatabahasa, semua kalimat yang menggunakan huruf
oe harus berganti dengan u. Maka Noenoehitoe kemudian dituliskan sebagai
Nunuhitu. Bahkan dalam suatu keturunan terjadi perdebatan dalam penggunaan
penulisan marga. Yang tetap memakai oe berkilah bahwa akte kelahiran, surat
baptis dan dokumen lainnya sudah tertulis demikian, padahal ada yang lahir
setelah tahun 1972 tetapi masih juga menggunakan ejaan lama. Yang memilih untuk berubah memakai u
berargumen bahwa ini aturan Pemerintah dan mengikuti kemajuan jaman (yang masih
menggunakan oe dianggap kuno dan ketinggalan jaman). Sebuah dilema yang,
menurut saya, tidak perlu terjadi jika kita mengerti apa yang sebenarnya
terjadi. Dalam Ejaan Yang Disempurnakan itu, sebenarnya tertulis jelas ada
pengecualian bagi beberapa hal misalnya merek dagang dan nama orang atau marga
. Karena sudah menjadi trade mark, maka tetap dapat dipakai seperti aslinya
sebelum EYD ini berlaku. Contoh sederhana adalah rokok Bentoel, rokok
Djarum, bahkan nama Presiden pun tetap tertulis Soeharto. Bagaimana mungkin
sang Presiden mengangkangi keputusannya sendiri.
Pada saat
ini, hampir sebagian besar keturunan yang lahir di atas tahun 1972 sudah
menggunakan tulisan Nunuhitu dan sebagian kecil saja (termasuk saya) yang tetap
memakai marga Noenoehitoe. Jadi bagi saya, tidak masalah jika ada yang
Noenoehitoe dan ada yang Nunuhitu. Yang
utama adalah latar belakang penggunaannya yang mesti pahami baik-baik, sehingga keturunan kita menjadi
kuat secara historis dan bukan ikut-ikutan (membeo). Jangan sampai malah tidak
mencantumkan marga karena kurang paham asal usul.
Syukurlah
bahwa lebih banyak orang yang tidak bingung dan tetap memahami bahwa keduanya cuma berbeda secara penulisan
tetapi akar keturunannya adalah satu.
Pemahaman inilah yang kiranya terus diceritakan pada anak cucu cece
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman di masa yang akan datang. Semoga. Sebuah
catatan bahwa sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor :
83/Kpts-II/1993 tanggal 28 Januari 1993, pulau Ndana dengan luas 1.562 Ha
ditetapkan sebagai Kawasan Taman Buru. Saat ini pulau Ndana dihuni oleh tentara
dengan sebuah patung Soedirman berdiri di atasnya.
Keterangan foto :
Nenek Alberthina Noenoehitoe - FoEh (28 Maret 1909 - 2 April 1997)
Kakek Paulus Hendrik Nicolas Noenoehitoe (29 Mei 1909 - 31 Maret 1997)
Kakek adalah Pupu IX dari Nunu Foe.
Mohon izin share
BalasHapusIya, silakan Om Ade......
BalasHapuskeren e bp daniel su mulai menulis...
BalasHapusterus semangat
dr tulisan2 yg ktg bc ktg akan byk tau ttg hal2 yg selama ini msh gelap
Terimakasih Mrs. Febby......hehehe masih belajar coret-coret nih, supaya sonde lupa.
HapusNenek Alberthina Noenoehitoe - Foeh adalah anak dari Eyang saya "Hane Foeh"
BalasHapusWah syukurlah..... #betaMesa boleh tau silsilahnya? Trimakasih
HapusMarga nunuhitu hadir 🥰
BalasHapusMantap.
Hapus