PKI di Rote (cerita Papa)
foto : Lencana Papa (alm)
Gonjang-ganjing isu PKI
dan komunis yang berseliweran beberapa waktu belakangan ini membuat BetaEndik
teringat cerita dari Papa tentang orang-orang yang dituduh terlibat Gerakan
Tiga Puluh September (G30S) PKI pada tahun 1965. Pada saat peristiwa itu
terjadi, Papa sudah bekerja sebagai Pegawai pada Jawatan Kejaksaan di Kota Ba’a
di Pulau Rote. Berita pembunuhan para Jenderal di Jakarta, dalam sekejap
menyebar sampai ke seluruh pelosok negeri termasuk Pulau Rote, pulau terselatan
di negeri ini. Tindakan cepat lalu diambil untuk menangkap semua mereka yang
dituduh mendalangi, melakukan dan mendukung peristiwa pembunuhan itu. Sebagai
bagian dari aparat penegak hukum, bersama para tentara, polisi, hakim dan
jaksa, Papa juga ditugaskan dalam Tim Interogasi sebagai Sekretaris. Menurut
cerita Papa, salah satu tugas tim ini adalah mendata semua mereka yang terlibat
Gerakan 30 S PKI itu. Ada begitu banyak nama yang dicatat sebagai anggota PKI
maupun anggota organisasi yang berafiliasi ke PKI. Mereka yang dituduh terlibat
ini kemudian dipilah-pilah menurut kategori peran atau kedekatan mereka dengan
PKI. Ada Golongan A, Golongan B dan Golongan C. Kebanyakan mereka yang
dieksekusi (dibunuh) adalah yang termasuk kategori Golongan A, sedangkan
Golongan B dan C ada yang ditahan kemudian dilepaskan namun tetap harus wajib
lapor. Pada situasi ini, dapat saja fitnah atau balas dendam terjadi. Misalnya
mereka yang dicurigai sebagai pencuri, perampok, tukang suanggi, dapat saja
dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI, sehingga ada alasan untuk
menangkap orang-orang tersebut. Seperti yang Papa ceritakan bahwa ada seorang
bapak yang ditangkap dan dihadapkan untuk diinterogasi namun ternyata orang
tersebut bukanlah oknum yang dimaksud, hanya kebetulan saja bahwa dia memiliki nama
dan marga yang sama dengan oknum PKI yang seharusnya ditangkap. Apa lacur,
kondisi bapak tersebut sudah babak belur ketika diantarkan, bahkan menurut Papa, rahangnya kemungkinan sudah bergeser dan kedua ibu jari tangannya juga sudah membengkak karena diikat
menggunakan tali senar.
Kisah lain adalah
tentang seorang Pemuda yang menurut Papa cukup cerdas, yang dituduh terlibat
PKI. Saat bersih-bersih para anggota dan simpatisan PKI, Pemuda ini menjalani
wajib lapor setiap minggu. Mungkin karena kecerdasannya maka walaupun tidak ditahan, tetapi dia selalu diinterogasi untuk mendapatkan informasi lebih banyak mengenai peristiwa G30S
PKI. Suatu saat, ada pergantian pasukan Brimob dari Kupang. Seperti biasa, si
Pemuda ini melakukan wajib lapor tapi kemudian dia dinaikkan ke atas mobil dan
diangkut menuju arah utara Kota Ba’a. Semua orang mahfum bahwa di utara Kota,
ada tempat eksekusi bagi para anggota PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat
G30S PKI.
Situasi yang sedemikian
tegang membuat semua orang waspada. Siapa teman siapa lawan menjadi hal yang
tipis batasnya. Teman bisa tiba-tiba berubah menjadi lawan dan lawan dapat saja
menjadi teman karena situasi. Sebagai bagian dari Tim, Papa dan kawan-kawannya
juga diinstruksikan untuk waspada dan siap sedia tiap saat. Hal itu ditunjukan
Papa dengan tetap berpakaian dinas lengkap walapun sedang ada di rumah bahkan
saat tidur sekalipun.
Papa juga bercerita
tentang temannya yang ikut dalam peristiwa eksekusi orang-orang dituduh
terlibat PKI. Secara tidak sengaja, ada salah satu jari dari orang yang
dieksekusi itu terputus dan tempias masuk ke dalam saku baju teman Papa itu.
Dia tidak menyadarinya sampai beberapa hari kemudian barulah tercium bau busuk
di dalam rumahnya. Setelah ditelusuri ternyata bau itu bersumber dari bajunya
yang sedang digantung dan saat diperiksa, kantung bajunya berisi potongan
daging jari yang sudah membusuk. Menurut cerita Papa, temannya itu sulit
menelan makanan dan muntah-muntah selama beberapa hari.
Saat Peristiwa G30S PKI
terjadi, situasi makin sulit. Bahan makanan berupa beras ataupun jagung susah
didapat. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Karena itu, keluarga kami
mengkonsumsi bulgur (https://id.wikipedia.org/wiki/Bulgur). Saat itu, ada seorang kakak yang baru berumur 10 bulan. Papa,
Mama dan para Saudara berupaya agar si bayi tetap merasa nyaman sehingga tidak
rewel dan karena jam malam sedang diberlakukan di seluruh Pulau, maka lampu
pelita yang dinyalakan, ditaruh di kolong meja dan ditutupi kain sehingga
cahayanya tidak menembus ke luar. Suasana demikian ternyata cukup membuat si
bayi tertidur nyaman setiap malam.
Saat
ini sudah 52 tahun peristiwa itu terjadi, namun isu PKI dan komunisnya kembali
menghangat. BetaEndik tidak yakin jika PKI bisa bangkit lagi, mengingat selama
masa Orde Baru selama 32 tahun, semua yang berbau komunis dan PKI telah
ditumpas habis. Jika isu ini sengaja dihembuskan untuk tujuan politik tertentu
maka tentulah sangat naïve. BetaEndik teringat status fb saat peringatan 72
tahun Kemerdekaan RI (https://www.facebook.com/search/str/7+palu+2+arit/keywords_blended_posts?filters_rp_author=%7B%22name%22%3A%22author_friends%22%2C%22args%22%3A%22%22%7D&esd=eyJlc2lkIjoiUzpfSTEzMTg0MDMyNDY6MTAyMTAyMjc0NDIwNjUzMzIiLCJwc2lkIjp7IjEzMTg0MDMyNDY6MTAyMTAyMjc0NDIwNjUzMzIiOiJVenBmU1RFek1UZzBNRE15TkRZNk1UQXlNVEF5TWpjME5ESXdOalV6TXpJPSJ9LCJjcmN0IjoidGV4dCIsImNzaWQiOiIzMWUwMTFjYjA4MjZkYzhlNDVmMjA2YzUzNDc4ZDYyNSJ9).
Semoga
kewaspadaan bangsa ini tetap menggunakan akal sehat sehingga tidak mudah tersulut
oleh rupa-rupa provokasi. Sejarah telah bercerita bahwa pertumpahan darah
sesama anak bangsa, meninggalkan luka dalam yang membekas lama. Janganlah
terulang hanya karena kebodohan dan ego sejumput manusia berkepala pentol korek
api yang mencoba menemukan nasi bungkus berkaret 2 di antara sibuknya bangsa
ini membangun negerinya.
Salam,
Komentar
Posting Komentar