Langsung ke konten utama

tentang Sasando

Sesandu a.k.a sasandu or sasando

foto : Yapri Imanuel Nunuhitu, keturunan IX Nunu Foeh, pembuat dan pemain sasando elektrik

Ada banyak versi yang beredar di masyarakat mengenai asal mula terciptanya alat music sasandu. Salah satunya adalah cerita rakyat yang berkisah tentang Sangguana, seorang nelayan yang terdampat di pulau Ndana. Ia dibawa menghadap raja Ndana, Takalaa, dan terkesima melihat kecantikan putri raja. Sangguana kemudian jatuh cinta pada putri raja namun sang raja memberikan syarat bahwa ia harus membuat dan memainkan alat music yang lain dari biasanya, untuk menghibur seisi istana. Sangguana gelisah karena syarat yang diberika raja cukup berat namun karena hatinya sudah terpaut pada kecantikan sang putri maka dia berpikir keras untuk memenuhi persyaratan tersebut. Maka tertidurlah Sangguana karena kelelahan. Dalam tidurnya, ia bermimpi memainkan alat music yang bunyinya sangat merdu. Sangguana terbangun dan mulai membuat alat music seperti yang muncul di dalam mimpinya itu. Lalu ia membawanya ke istana dan memainkannya dengan indah hadapan raja sehingga sang raja terkesima. Kemudian raja membolehkan Sangguana untuk mempersunting sang putri dan alat music buatan Sangguana itu dipersembahkan kepada putri raja Ndana. Oleh sang putri, alat music itu diberi nama hitu, karena memiliki 7 dawai yang memiliki nada berbeda-beda.   Beberapa pihak mengklaim bahwa nenek moyang merekalah yang pertamakali membuat dan memainkan alat music petik ini. Namun sebagai turunan rakyat Ndana, kami meyakini bahwa sasandu memang pertamakali diperkenalkan oleh Sangguana.

foto : (Opa) Yapri bersama sasandu elektrik buatannya, dihiasi ornamen khas Rote

 Ketika BetaEndik masih SD, pernah ada seorang mahasiswa yang datang bertanya kepada Papa tentang asal-usul sasandu. Seingat Beta, Papa Octovianus Noenoehitoe bercerita bahwa ada seorang Bai (kakek) dari antara nenek moyang kami yang bertugas menggembala kambing dan domba. Setiap hari kakek ini menggiring ternak-ternak ini ke padang untuk mencari rumput. Sambil menunggui hewan-hewan ini makan rumput, si kakek biasanya berteduh di bawah pohon rindang untuk menikmati bekal makanannya. Kemudian si kakek akan berdendang, menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan tentang perjalanan hidup manusia ataupun tentang kerinduan pada Yang Kuasa. Kakek ini menggunakan batok kelapa dan sepotong kayu yang diketok-ketokkan ke batok tersebut, sebagai instrument pengiringnya berdendang. Batok kelapa itu adalah wadah yang dia gunakan sebagai piring, ketika menikmati bekal makanannya. Pada suatu ketika, si kakek terinspirasi untuk membuat alat music yang memiliki variasi nada. Dia mengambil usus domba, diirisnya memanjang lalu dijemur sampai kering. Irisan-irisan usus domba yang sudah kering itu kemudian dipilin dan diikatkan pada sebatang bambu. Saat rangkaian tali tersebut  dimainkan, ternyata menghasilkan nada-nada yang merdu. Sejak saat itu maka alat music ini selalu dibawa sang kakek ketika menggembala ternaknya. Menurut Papa betaEndik, si kakek kemudian menyempurnakan dawai alat musiknya menggunakan usus kucing dan untuk membuat nada suaranya terdengar nyaring maka dia menyematkan haik (wadah yang terbuat anyaman daun lontar) pada bilahan bamboo tersebut. Penduduk kemudian mengenali si kakek sebagai Mana sari sando do mana deta hitu yang berarti orang yang biasa bermain sari sandu atau hitu. (MANA DETA HITU MANA SARI SANDU). Di kemudian hari, orang-orang menyingkatkan nama alat music itu dengan Sarisandu atau sasandu. Kisah ini dibawa si mahasiswa ini ketika mengikuti pertukaran mahasiswa Indonesia dan Kanada. Mahasiswa ini adalah Thomas H. M. P. D.  Dethan (1965 - 2016), yang mempelajari bahasa dan sastra Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana Kupang.

Menurut Bapak Paul A. Haning dalam bukunya Nale Sanggu Penakluk Kerajaan Ndana (CV. Kairos, 2006), ketika Sangguana Nalle berada di istana raja Ndana, dia memainkan sasandu untuk menghibur raja dan rakyat Ndana. Bahkan dia mengajarkan rakyat Ndana cara memainkan alat music ini namun satu-satunya orang Ndana yang pandai memainkan sasandu adalah Nunu Foeh, salah seorang fettor di pulau Ndana. Sangguana adalah seorang pelaut/nelayan dari kerajaan Thie yang  terdampar di pulau Ndana akibat terjangan angin topan yang dahsyat. Sedangkan Nunu Foeh, bersama istrinya Seda Lilo kemudian menurunkan keturunan yang bermarga Noenoehitoe / Nunuhitu (baca tulisan betaEndik : Marga Saya Noenoehitoe). Nunu Foeh dikisahkan dalam syair : Nunuk mana kokoek, ma hitu mana mamakok yang artinya pohon beringin (nunuk) membujuk dengan bayangannya dan hitu (sasandu, bertali tujuh) merayu dengan suaranya yang merdu. Dari sinilah muncul Nunuhitu, sebuah nama samaran. Kisah lengkapnya ada di dalam buku itu.

foto : buku karya bapak Paul A. Haning, Nalle Sanggu Penakluk Kerajaan Ndana (CV. Kairos, 2006)

Kini, sasandu sudah mendunia. Sudah banyak orang yang pandai memainkannya dan fungsinya bukan saja untuk menghibur tapi juga dipakai sebagai instrument pengiring dalam ritual keagamaan sebagai bentuk penyembahan kepada Yang Kuasa. Sasandu telah menjadi trade mark bukan saja untuk pulau Rote tetapi juga mencakup propinsi Nusa Tenggara Timur. Lihatlah Kantor Gubernur NTT di Jalan El Tari, landmark propinsi ini berarsitektur alat music khas NTT yaitu sasandu. Sasandu sudah menjadi milik semua orang. Kira-kira demikian

foto koleksi Yapri Nunuhitu : sasandu elektrik karya keturunan Nunu Foeh IX, telah dimodifikasi mengikuti perkembangan teknologi


Salam, 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Noenoehitoe

MARGA SAYA NOENOEHITOE Terlahir dalam komunitas berpaham patriakhal di Pulau Rote - NTT, saya mendapatkan warisan marga dari bapak yaitu Noenoehitoe. Jadi mau tidak mau, saya mesti meneruskan marga ini. Ada banyak pihak yang menduga bahwa marga kami ini berasal dari Maluku. Mungkin karena ada kesamaan bunyi dengan marga Manhitu ataupun Tahitoe. Bahkan ada yang bersikeras menyebutkan kisah bahwa moyang Noenoehitoe datang dari Ambon ke Rote sebagai penyebar Injil yang diutus oleh Belanda. Beberapa waktu yang lalu bahkan ada seorang teman yang menceritakan bahwa ada Peneliti dari sebuah Institut di Kupang yang sedang menyusun naskah histori tentang gelombang migrasi orang-orang Maluku ke Timor termasuk Rote.  Saya cuma senyum saja untuk menenangkan hati mereka. Sejarah dan silsilah mengenai marga Noenoehitoe ini pernah dituliskan oleh Pdt. Jermias Petrus Nunuhitu (manuskrip, 1955) dan juga ada dalam buku berjudul Anak Membela Bapak yang ditulis oleh Dj. Messakh yang d...

tentang wasiat

WASIAT NOENOEHITOE Catatan dari Pdt. Jermias Petrus Noenoehitoe (1955) 1.       Bahwa pada zaman dahulu kala, maka turunan Nunuhitu (Noenoehitoe) mulai dari Rondo Nunu yang biasa disebutkan turunan Rondotein dalam suku Mbura Lae di negeri Thie, pulau Rote, biasa memakai nama (fam) Pandie , yaitu nama dari neneknya Pandi Fora (Pupu : V, lihat silsilah). Akan tetapi pada tahun 1872, maka nama Pandie itu diganti dengan nama Messakh oleh almarhum Raja Thie Jonas Nicolas Messakh pada ketika Jacob Arnolus Pandie (Fora Rondo) dinikahkan dengan tunangannya Wilhelmina Johanis di Kantor Ba’a. Pertukaran nama itu terjadi lantaran fam. Messakh (Bessitein) dan fam. Pandie (Rondotein) sejak itu mereka hidup dalam persahabatan yang karib , seolah-olah saudara sekandung adanya. 2.       Lantaran zaman beredar, musim beralih, maka pada tahun 1935, Guru Pension Gabriel Arnolus Messakh dapat memilih  satu nama yang baru, yang...

tentang Suku-suku nusak Thie / Tii

Orang-orang Thie 25 Suku disalin dari tulisan tangan Bapak Octovianus Noenoehitoe (1934 – 2016) Golongan Raja (Sabarai) : 1.       MburalaE 2.       HenulaE 3.       SabalaE 4.       Nggaupandi 5.       Tolaumbuk 6.       Meoleok 7.       Pandi 8.       Kolek Leoanak : a.       Sua b.       LeE c.        Musuhu d.       Kona e.       Kanaketu Golongan Fetor (Taratu) : 1.       Ndanafeo 2.       Nallefeo 3.       Mesafeo 4.       Todefeo 5.       Moiumbuk 6.     ...