Langsung ke konten utama

Kambing

Scape Goat
Manusia memiliki naluri alamiah untuk membela diri. Salah satu hal sederhana dari membela diri adalah tidak mau mengakui kesalahan dan tidak sudi disalahkan. Ketika terjadi masalah maka buru-buru dicari pihak lain untuk dilemparkan kesalahan itu. Memang paling gampang menuduh orang lain. Padahal jika ditelusuri, sebenarnya dialah pangkal utama penyebab persoalan itu. Telat masuk kerja, alasannya hujan. Hujan yang disalahkan. Padahal ada payung, ada jas hujan, ada taxi on line bahkan ada telepon genggam untuk memberi kabar bahwa akan datang terlambat. Telat mendapat tamu bulanan, pacar menjadi tersangka. Pacar yang agresif, pacar yang terus merayu, menggoda dan mengajak. Pacarnya juga mau.  Lagi-lagi pihak lain yang disalahkan. Padahalnya perbuatan itu dilakukan dua pihak. Padahal sudah tahu resikonya bagaimana. Padahal ada alat upppsssss……!!!!!).
Ternyata naluri melemparkan kesalahan ini sudah ada sejak nenek moyang manusia pertama, Adam dan Hawa. Ketika Allah bertanya kepada Adam mengapa engkau telanjang, spontan Adam menjawab : Perempuan ini, dia penyebabnya. Hawa pun tak mau begitu saja disalahkan. Ular, katanya. Ular yang menggoda Saya, kata Hawa. Nah, apakah ularpun membela diri? Sayangnya, karena ular tidak termasuk spesies manusia maka Beta kira, dia tidak membela diri. Dia dihukum. Merayap dan makan abu tanah seumur hidupnya. Tetapi, karena Allah itu Mahabijaksana maka manusia juga dihukum-Nya. Diusir dari Firdaus. Nah, akibat pengusiran itu maka sampai sekarang manusia hidup “menderita di dunia”. Seorang teman di Manado mengatakan bahwa dia menyesal karena Hawa bukan orang Manado. Jika saja Hawa ini perempuan Manado maka pastilah manusia tidak akan jatuh dalam pencobaan. Si ular, ketika akan merayu Hawa, pastilah sudah ditangkap dan dijadikan sate. Maka selamatlah kita manusia, dari “penderitaan ini”.
Jaman dulu, di Israel  ada tradisi untuk membebankan kesalahan (dosa) pada pihak lain. Jika ada orang berbuat salah (dosa) maka dia harus datang pada tua-tua agama untuk mengaku.  Setiap ada pengakuan salah (dosa) maka tua-tua Agama akan mengambil seekor kambing jantan yang kena undi, lalu dilepaskan di padang gurun. Kambing ini dilambangkan telah mengangkut semua kesalahan (https://id.wikipedia.org/wiki/Azazel). Maka muncullah kemudian istilah kambing hitam (scape-goat = kambing lari). Ini ditujukan untuk pihak lain yang dituduh sebagai penyebab atau akar masalah. Kambing hitam adalah orang yang dalam suatu peristiwa, sebenarnya tidak bersalah tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan. Masalah baru muncul.  Manusia, memiliki naluri alamiah untuk membela diri. Apalagi jika memang bukan dia yang menjadi penyebab, sudah pasti dia tidak akan terima dijadikan “kambing hitam”. Maka beberapa kambing harus disembelih. Dijadikan gule kambing, kambing guling ataupun juga sate kambing. Untuk apa? Untuk mendamaikan kedua pihak yang bermasalah. Memangnya apa masalahnya? Emang gue pikirin. Nikmati dulu kambing gulingnya.



Salam,



               Keterangan foto : Kambing hitam, hewan Qurban 2014 di Masjid Almujahirin Maulafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Noenoehitoe

MARGA SAYA NOENOEHITOE Terlahir dalam komunitas berpaham patriakhal di Pulau Rote - NTT, saya mendapatkan warisan marga dari bapak yaitu Noenoehitoe. Jadi mau tidak mau, saya mesti meneruskan marga ini. Ada banyak pihak yang menduga bahwa marga kami ini berasal dari Maluku. Mungkin karena ada kesamaan bunyi dengan marga Manhitu ataupun Tahitoe. Bahkan ada yang bersikeras menyebutkan kisah bahwa moyang Noenoehitoe datang dari Ambon ke Rote sebagai penyebar Injil yang diutus oleh Belanda. Beberapa waktu yang lalu bahkan ada seorang teman yang menceritakan bahwa ada Peneliti dari sebuah Institut di Kupang yang sedang menyusun naskah histori tentang gelombang migrasi orang-orang Maluku ke Timor termasuk Rote.  Saya cuma senyum saja untuk menenangkan hati mereka. Sejarah dan silsilah mengenai marga Noenoehitoe ini pernah dituliskan oleh Pdt. Jermias Petrus Nunuhitu (manuskrip, 1955) dan juga ada dalam buku berjudul Anak Membela Bapak yang ditulis oleh Dj. Messakh yang d...

tentang wasiat

WASIAT NOENOEHITOE Catatan dari Pdt. Jermias Petrus Noenoehitoe (1955) 1.       Bahwa pada zaman dahulu kala, maka turunan Nunuhitu (Noenoehitoe) mulai dari Rondo Nunu yang biasa disebutkan turunan Rondotein dalam suku Mbura Lae di negeri Thie, pulau Rote, biasa memakai nama (fam) Pandie , yaitu nama dari neneknya Pandi Fora (Pupu : V, lihat silsilah). Akan tetapi pada tahun 1872, maka nama Pandie itu diganti dengan nama Messakh oleh almarhum Raja Thie Jonas Nicolas Messakh pada ketika Jacob Arnolus Pandie (Fora Rondo) dinikahkan dengan tunangannya Wilhelmina Johanis di Kantor Ba’a. Pertukaran nama itu terjadi lantaran fam. Messakh (Bessitein) dan fam. Pandie (Rondotein) sejak itu mereka hidup dalam persahabatan yang karib , seolah-olah saudara sekandung adanya. 2.       Lantaran zaman beredar, musim beralih, maka pada tahun 1935, Guru Pension Gabriel Arnolus Messakh dapat memilih  satu nama yang baru, yang...

tentang Suku-suku nusak Thie / Tii

Orang-orang Thie 25 Suku disalin dari tulisan tangan Bapak Octovianus Noenoehitoe (1934 – 2016) Golongan Raja (Sabarai) : 1.       MburalaE 2.       HenulaE 3.       SabalaE 4.       Nggaupandi 5.       Tolaumbuk 6.       Meoleok 7.       Pandi 8.       Kolek Leoanak : a.       Sua b.       LeE c.        Musuhu d.       Kona e.       Kanaketu Golongan Fetor (Taratu) : 1.       Ndanafeo 2.       Nallefeo 3.       Mesafeo 4.       Todefeo 5.       Moiumbuk 6.     ...